PETA DUNIA MASA DEPAN

Kamis, 26 Mei 2011

(Tanggapan untuk tulisan Peter Rosler Garcia)



Laporan yang dilansir oleh National Intellegence Council (NIC), tentang Mapping the Global Future (Pemetaan Masa Depan Dunia), selain untuk memberikan gambaran secara umum tentang tantangan yang akan dihadapi oleh Amerika, juga sebagai langkah antisipatif yang hendak dilakukan dalam rangka mewujudkan peta masa depan dunia yang mereka kehendaki. Cina, sebagai kekuatan baru dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, serta keteguhannya berpegang kepada ideologi Sosialis, ditopang dengan jumlah demografis yang besar dan wilayah geografis yang luas, benar-benar menjadi ancaman real bagi Amerika, dan negara-negara Barat-Kapitalis lainnya. Di sisi lain, India disebut-disebut sebagai negara berikutnya, dengan pertumbuhan ekonomi dan teknologi yang signifikan, serta jumlah penduduk yang besar akan berpotensi menjadi kekuatan baru di masa depan.
Yang menarik adalah adanya skenario lain, yaitu munculnya Khilafah baru pada tahun 2020, yang juga memprediksi Indonesia sebagai salah satu bagian dari kekhilafahan baru tersebut. Dalam konteks yang terakhir inilah, Peter Rosler Garcia merekomendasikan agar Indonesia menjadi negara besar, maka Indonesia harus tetap bersikap moderat, tidak berpikiran sempit, menstabilkan demokrasi dan HAM. Itu beberapa kesimpulan yang bisa ditarik dari pandangan dan laporan di atas.

Cina sebagai Ancaman Real Amerika
Diakui atau tidak, sampai saat ini Cina masih merupakan satu-satunya negara Sosialis yang terbesar, terutama setelah runtuhnya Uni Soviet. Setelah reformasi Deng Xiopeng, Cina memang telah menganut ekonomi pasar, artinya dalam bidang ekonomi Cina telah melakukan reformasi, atau lebih tepatnya adaptasi Sosialisme dengan Kapitalisme, meski secara politik Cina tetap tidak berubah. Pendekatan yang dilakukan oleh Cina ini persis seperti yang pernah dilakukan oleh Amerika dekade 50-an abad ke-20 M, saat sejumlah penguasa pro-Amerika mengumumkan apa yang ketika itu dikenal dengan istilah State Socialism (Sosialisme Negara). Sebut saja, Gamal Abdul Naser (Mesir), dan Ahmed Ben Bellah (Aljazaer). Intinya, Kapitalisme dibalut dengan ide-ide Sosialisme. Nah, justru dengan adaptasi seperti ini, Cina telah menjelma menjadi kekuatan besar dengan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa.
Upaya Amerika untuk memukul Cina memang terus dilakukan, tetapi nyaris tidak berhasil. Perang Vietnam yang dilakukan oleh Amerika pada zaman Nixon, dengan maksud untuk memancing keterlibatan Cina dalam membela Vietnam, sehingga kelak bisa dijadikan sebagai justifikasi bagi Amerika untuk menggebuk Cina ramai-ramai ternyata telah dibaca oleh Mao Che Thung. Setelah itu, melalui penguasa Kamboja yang pro-Amerika, Norodom Sihanok, Amerika pun melakukan hal yang sama, tetapi gagal menyeret Cina. Peperangan itu pun akhirnya berhenti setelah Mao meninggal, dan diganti penguasa berikutnya. Ketika itu, Cina dianggap sebagai ancaman setelah melihat ambisi Mao untuk melakukan ekspansi ke luar. Berbeda dengan penggantinya. Maka, praktis tidak ada konflik besar yang menyeret Cina, seperti pada zaman Mao. Meski tidak berarti ancaman Cina telah pudar.
Maka, Amerika terus memprovokasi Taiwan agar menjadi duri di dalam daging bagi Cina. Secara politis, Amerika memang mengakui kebijakan One China, satu Cina, tetapi kenyataannya upaya-upaya Amerika secara terbuka melakukan kunjungan ke Taiwan, dan menerima kunjungan penguasa Taiwan di Amerika jelas membuktikan hal itu. Ditambah lagi kunjungan Clinton yang terakhir ke Taiwan , beberapa hari yang lalu. Semuanya itu, tidak lain adalah agar konflik Cina-Taiwan terus bergolak. Dengan begitu, Cina akan terus disibukkan dengan persoalan domestiknya, dan suatu ketika saat keinginan rakyat Taiwan bulat untuk memisahkan diri dari Cina, yang didukung dengan momentum yang tepat, maka semuanya itu akan menjadi justifikasi bagi Amerika untuk menyerang Cina. Cina juga begitu, terus-menerus meningkatkan kemampuan militernya, termasuk persenjataan nuklirnya guna menghadapi berbagai kemungkinan yang bakal terjadi, khususnya dalam menghadapi ancaman Amerika.
Krisis nuklir Korea Utara juga sama, hanya menjadi justifikasi bagi Amerika untuk membidik Cina. Demikian juga dengan isu jaringan al-Qaedah di Asia Tenggara, atau Jamaah Islamiah, dan terakhir keinginan kuat Amerika untuk menjadikan perairan di Selat Malaka sebagai zona bersama, dimana Amerika menjadi salah satu pengawasnya adalah upaya-upaya yang kelak bisa dimanfaatkan untuk ke sana. Konflik India-Pakistan, baik menyangkut isu perbatasan termasuk Kashmir , maupun isu nuklir, juga telah dijadikan justifikasi oleh Amerika untuk kepentingan yang sama. Ketika Partai Baratha Janathan, pimpinan Vajpayee, yang pro-Amerika menang pada akhir dekade 90-an, dan berhasil menduduki kursi pemerintahan, didukung dengan pemerintah Pakistan yang secara tradisional memang pro-Amerika, maka Amerika berkeinginan untuk menjadikan kedua negara ini sebagai garda terdepan untuk menghadapi Cina, yang ditopang dengan jumlah populasi dan persenjataan nuklirnya yang hampir menyamai Cina. Kalaupun tidak, setidak-tidaknya bisa menjadi justifikasi bagi masuknya Amerika di kawasan tersebut, yang kelak bisa memudahkan langkahnya untuk menghabisi Cina.
Pendudukan Amerika terhadap Afganistan juga telah dibaca Cina, sebagai situasi yang bisa mengancam keamanannya. Maka, Cina pun segera mengirim pasukan ke kawasan tersebut. Intinya, Cina memang merupakan ancaman real bagi Amerika. Ini semakin kelihatan, ketika Uni Eropa (Metro TV, 3/3/05) mencabut embargonya terhadap Cina, maka kontan saja anggota Konggres Amerika mengancam akan mengembargo Uni Eropa.

Khilafah sebagai Ancaman Potensial
Nah, setelah era Perang Dingin, kutub Kapitalis termasuk di dalam Amerika dan Uni Eropa, memang kehilangan musuh real (the real enemy). Selain Cina , Korea Utara, dan Kuba, barangkali the real enemy tadi sulit ditemukan. Di sisi lain, bukan berarti mereka tidak menyadari adanya musuh potensial. Mereka sadar, hanya saja kepentingan mereka tidak berbeda. Sebut saja dunia Islam, termasuk di dalamnya adalah Indonesia . Bagi Amerika dan Uni Eropa khususnya, termasuk di dalamnya Inggris, dunia Islam adalah ancaman potensial. Mengapa? Karena Islamnya. Sejak runtuhnya Khilafah, 3 Maret 1924 sampai saat ini, dunia Islam memang masih tetap terkoyak dan belum bangkit menjadi kekuatan baru. Tetapi, kesadaran itu mulai tumbuh dan terus membesar, yang terlihat dari semakin semaraknya tuntutan untuk mengembalikan syariah dan Khilafah di hampir 30 negara.
Dalam menghadapi ancaman potensial inilah, Amerika terus berusaha untuk melakukan berbagai manuver politik, termasuk di antaranya menghadirkan jumlah pasukan yang sangat besar di Timur Tengah, tidak kurang dari 148 ribu personil di Irak dan Qatar, belum lagi di Saudi dan sekitarnya. Pada saat yang sama, terus menyulut konflik Israel-Palestina, yang terakhir Suriah-Lebanon. Semuanya itu tentu dengan maksud untuk menyibukkan kaum Muslim dengan persoalan domestik mereka. Ini strategi Amerika. Bahkan, dengan tegas Donald Rumsfeld pernah menyatakan, bahwa pendudukan Amerika di Irak bukan untuk menggulingkan Saddan Hussen semata, tetapi untuk mengembalikan demokrasi di Irak dan membendung kembalinya Khilafah. Karena itu, Amerika sejak awal tegas-tegas menolak pemberlakukan Islam baik sebagai asas maupun hukum negara di sana , meski mayoritas rakyatnya menghendaki hal itu.
Sekalipun kondisi ini, di satu sisi bisa menguras energi Amerika yang sangat besar. Inilah yang disadari oleh Inggris. Karena itu, meski sama-sama melakukan pendudukan di Irak, Inggris mempunyai kepentingan yang berbeda. Inggris berkeinginan untuk menguras energi Amerika, di satu sisi. Di sisi lain, Inggris ingin menggali kuburan Amerika di Irak, agar kekuatan Amerika semakin melemah, didukung dengan kampanye negatif terhadap Amerika yang memicu sentimen anti-Amerika di kawasan tersebut. Sementara itu, dengan sikapnya anti pendudukan Amerika di Irak, Uni Eropa, khususnya Perancis, bukan berarti tidak setuju dengan tindakan Amerika, atau tidak mempunyai kepentingan terhadap Timur Tengah. Yang diinginkan oleh Uni Eropa adalah, bahwa setelah posisi politiknya di dunia ketiga, khususnya dunia Islam, Uni Eropa lebih memilih sikap yang berlawanan dengan Amerika guna menarik simpati dunia Islam. Jika berhasil, maka sentimen anti-Amerika itu akan membuahkan perlawanan, yang pada akhirnya dunia Islam tidak lagi lari kepada Amerika tetapi ke Uni Eropa. Hal yang sama juga dilakukan oleh Uni Eropa terhadap Cina. Dalam kasus Cina, Uni Eropa ingin mengambil keuntungan ekonomi dan politik dari Cina dalam kasus pencabutan embargonya terhadap Cina.

Indonesia, dan Dunia Islam
Selama dunia Islam dan Indonesia khususnya tetap berpegang pada akar keislamannya, karena mayoritas penduduknya adalah Muslim, maka selama itu tetap akan menjadi ancaman potensial bagi Amerika dan negara-negara Barat yang lainnya. Ancaman potensial itu akan menjadi ancaman real, jika dunia secara keseluruhan bersatu dan menjelma menjadi kekuatan baru, yaitu ketika mereka berada di bawah satu payung negara Khilafah, sebagaimana Uni Eropa bagi Amerika saat ini. Mahatir Muhammad, dalam banyak kesempatan, baik ketika masih menjabat sebagai perdana menteri maupun setelah lengser, sering menyatakan keprihatinannya atas kondisi ummat Islam dan dunia Islam saat ini. Intinya, Mahatir mendambakan persatuan ummat Islam, agar ummat ini menjadi kuat, meski barangkali Mahatir belum mempunyai gambaran yang real tentang persatuan seperti apa yang bisa mengubah potensi ummat Islam ini menjadi kekuatan raksasa. Artinya, kesadaran itu sudah ada, tinggal formatnya seperti apa? Dan ternyata jawabannya jelas ada pada Khilafah.
Karena hanya Khilafahlah yang bisa menyatukan seluruh dunia Islam. Sebab, Khilafah bukan negara bangsa, sehingga seluruh bangsa Muslim yang ada saat ini bisa meleburkan diri di dalamnya. Khilafah juga bukan negara mazhab, sehingga seluruh mazhab yang dianut kaum Muslim dan bisa diterima oleh Islam, bisa dipersatukan di bawah naungan Khilafah. Khilafah juga bukan negara federasi, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, atau Persemakmuran Inggeris, tetapi Khilafah adalah negara kesatuan, dengan satu kepala negara, yang dibantu oleh para wali (gubenur) di masing-masing wilayahnya, dengan satu pasukan, dan satu kesatuan ekonomi. Maka, tidak dapat disangkal, bahwa Khilafah adalah satu-satunya negara adidaya potensial yang benar-benar akan menjadi ancaman bagi negara imperialis, seperti Amerika dan Uni Eropa. Sebab, jelas sekali daerah koloni mereka di dunia ketiga, khususnya dunia Islam akan hilang dari genggaman mereka. Akibatnya, politik dan ekonomi mereka akan terpuruk, dan eksistensi mereka di pentas percaturan dunia hanya tinggal sejarah. Itulah mengapa Khilafah menjadi momok yang begitu menakutkan bagi mereka?
Maka, setelah sekian lama, keinginan untuk mengembalikan Khilafah itu pun menggema di mana-mana, bukan hanya dari dunia Islam tetapi dari jantung peradaban mereka sendiri, di Inggeris, Amerika dan negara-negara Uni Eropa, kini persoalannya kembali kepada kita: memusuhi, mendukung atau bersikap wait and see. Maka, pilihan bagi para penguasa kaum Muslim yang ada di dunia Islam saat ini juga tidak lepas dari tiga pilihan di atas:
Pertama, memusuhi perjuangan penegakan syariah dan Khilafah, sebagaimana yang dilakukan oleh sejumlah rezim di dunia Islam, seperti Uzbekistan, Kyrqistan, Suriah, Jordania, Saudi dan sebagainya, yang pada akhirnya kebijakan rezim-rezim tersebut tidak bisa mengubah apa-apa, selain menambah daftar kejahatan mereka, yang kelak akan diperhitungkan ketika Khilafah telah berdiri.
Kedua, mendukung perjuangan syariah dan Khilafah, meski kebijakan seperti ini tentu akan menyulitkan posisi mereka di hadapan negara-negara imperialis, khususnya Amerika dan sekutunya. Tetapi, ke depan mereka akan menjadi bagian dari sejarah kekuasaan Khilafah yang insya Allah akan berdiri dalam waktu dekat. Bahkan, sangat mungkin mereka tetap akan menjadi penguasa di negeri-negeri mereka.
Ketiga, melihat dan menunggu; tidak mendukung dan menolak. Barangkali sikap inilah yang lebih aman dalam rangka meminimalisir resiko, baik terhadap negara-negara imperialis yang masih dominan saat ini, maupun terhadap Khilafah kelak.
Bagi Indonesia, sebagai negeri Muslim dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, tentu akan semakin kokoh eksistensinya, baik secara ekonomi, politik maupun militer, jika bersatu dengan negeri kaum Muslim yang lain dalam satu wadah, yang disatukan bukan oleh kepentingan, tetapi oleh akidah dan pandangan hidup yang sama. Lebih dari itu, Indonesia benar-benar akan merdeka dari segala bentuk intervensi asing, khususnya negara-negara imperialis. Sementara kaum minoritas tetap mendapatkan hak-haknya untuk hidup aman dan tenteram, bebas menjalankan agamanya. Mungkinkah? Mengapa tidak, maka waktulah yang akan membuktikannya.

0 komentar:

Posting Komentar